“BUDAYA SEKOLAH”
Oleh : AVRADYA MAYAGITA
Assalammu’alaikum
Wr.Wb,
Bapak –Bapak,
Ibu-Ibu, Saudara-Saudara, Hadirin yang berbahagia
Pelajar adalah aset yang akan menentukan
kemajuan suatu negara. Keberadaan pelajar-pelajar yang tangguh
dan responsif dalam
menanggapi persaingan di masyarakat
sangat dibutuhkan di era global yang penuh tantangan.
Untuk itu diperlukan upaya yang mengarah pada peningkatan
kualitas pelajar yang tidak hanya menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi,
tetapi juga mampu menghidupkan kearifan lokal, mempertahankan
budaya bangsa selain
mengembangkan jiwa kepemimpinan yang kuat,
memiliki karakter dan pribadi sebagai anak bangsa yang memahami
nilai-nilai luhur bangsa Indonesia.
Sayangnya,
hati kita terkadang miris melihat fenomena yang ada saat ini, dimana para pelajar Indonesia sudah
semakin jauh dari tata krama, disiplin, dan semakin dekat dengan perkelahian,
obat-obatan terlarang, maupun tindak kriminal dan asusila. Hal ini terjadi
antara lain disebabkan faktor masyarakat yang permisif, yang segala sesuatu itu
serba boleh. Faktor keluarga yang terlalu protektif terhadap anak-anaknya
maupun kurang perhatian, juga faktor lingkungan sekolah atau pun metode
pembelajaran yang menjemukan, kurang nyaman, dan berbagai macam faktor yang
menyangkut kondisi psikologis anak, keluarga, orangtua, guru, maupun lingkungan
sekolah dimana siswa itu melakukan aktifitasnya sebagai pelajar.
Ada tiga hal yang dikembangkan sekolah kami dalam
mengembangkan budaya Labschool, yaitu:
- Budaya Keagamaan
- Budaya Kerjasama
- Budaya
Kepemimpinan
Uraian dari budaya sekolah Labschool itu kami
aplikasikan dalam bentuk berbagai kegiatan yaitu:
A. BUDAYA KEAGAMAAN (RELIGI) :
Menanamkan perilaku atau tatakrama yang tersistematis
dalam pengamalan agamanya masing-masing sehingga terbentuk kepribadian dan
sikap yang baik (akhlaqul Karimah)
Bentuk Kegiatan :
Budaya Salam, Doa sebelum/sesudah belajar, Doa bersama
menyambut UN/US Tadarus dan Kebaktian, Sholat Dzuhur Berjamaah, Lima Hari
Belajar, LOKETA (Lomba Keterampilan Agama), Studi Amaliah Ramadhan, RETRET
(Studi untuk siswa Nasrani), Hafalan Juz Amma, Budaya Bersih; Konferensi kasus,
Kegiatan Praktek Ibadah, Buka Puasa Bersama, Pengelolaan ZIS, dan PHBI
(Peringatan Hari Besar Islam)
B. BUDAYA KERJASAMA (TEAM WORK) :
Menanamkan rasa kebersamaan dan rasa sosial terhadap
sesama melalui kegiatan yang dilakukan bersama.
Bentuk Kegiatan:
MOS, Kunjungan Industri, Parents Day, Baksos, Teman
Asuh, Sport And Art, Kunjungan Museum, Pentas Seni, Studi banding, Ekskul, Labs
Channel, Labs TV, Labs Care, Pelepasan Siswa, Seragam Sekolah, Majalah Sekolah,
Potency Mapping, Buku Tahunan, PHBN, (Peringatan hari Besar Nasional), dan
PORSENI.
C. BUDAYA KEPEMIMPINAN (LEADHERSHIP) :
Menanamkan jiwa kepemimpinan dan keteladanan dari
sejak dini kepada anak-anak
Bentuk
Kegiatan :
Career Day; budaya kerja keras, cerdas dan ikhlas, budaya Kreatif; Mandiri
& bertanggung jawab, Budaya disiplin/TPDS, SAKSI, (Studi dan Apresiasi
Kepemimpinan Siswa Indonesia), Lintas juang OSIS, Ceramah Umum, upacara
bendera, Olah Raga Jumat Pagi, Studi Kepemimpinan Siswa, LKMS (Latihan
Keterampilan manajemen siswa), Disiplin siswa, dan OSIS.
Berbagai bentuk kegiatan itulah yang telah
menghantarkan mereka menjadi pribadi unggul dan kami pun sebagai pendidik
berharap school culture yang telah kami kembangkan dapat
bermanfaat pula untuk sekolah-sekolah lainnya yang ada di Indonesia.
Semoga tulisan yang sangat sederhana ini bermanfaat
untuk semua dalam memajukan dunia pendidikan kita. Mari kita selalu berbagi
dalam mengelola budaya sekolah yang unggul di masyarakat berpengetahuan.
Budaya sekolah adalah nilai-nilai dominan yang
didukung oleh sekolah atau falsafah yang menuntun kebijakan sekolah terhadap
semua unsur dan komponen sekolah termasuk stakeholders pendidikan, seperti cara
melaksanakan pekerjaan di sekolah serta asumsi atau kepercayaan dasar yang
dianut oleh personil sekolah. Budaya sekolah merujuk pada suatu sistem nilai,
kepercayaan dan norma-norma yang diterima secara bersama, serta dilaksanakan
dengan penuh kesadaran sebagai perilaku alami, yang dibentuk oleh lingkungan
yang menciptakan pemahaman yang sama diantara seluruh unsur dan personil
sekolah baik itu kepala sekolah, guru, staf, siswa dan jika perlu membentuk
opini masyarakat yang sama dengan sekolah.
Beberapa manfaat yang bisa diambil dari upaya
pengembangan budaya sekolah, diantaranya : (1) menjamin kualitas kerja yang
lebih baik; (2) membuka seluruh jaringan komunikasi dari segala jenis dan level
baik komunikasi vertikal maupun horisontal; (3) lebih terbuka dan transparan;
(4) menciptakan kebersamaan dan rasa saling memiliki yang tinggi; (4)
meningkatkan solidaritas dan rasa kekeluargaan; (5) jika menemukan kesalahan
akan segera dapat diperbaiki; dan (6) dapat beradaptasi dengan baik terhadap
perkembangan IPTEK. Selain beberapa manfaat di atas, manfaat lain bagi individu
(pribadi) dan kelompok adalah : (1) meningkatkan kepuasan kerja; (2)
pergaulan lebih akrab; (3) disiplin meningkat; (4) pengawasan fungsional bisa
lebih ringan; (5) muncul keinginan untuk selalu ingin berbuat proaktif; (6)
belajar dan berprestasi terus serta; dan (7) selalu ingin memberikan yang
terbaik bagi sekolah, keluarga, orang lain dan diri sendiri.
Upaya pengembangan budaya sekolah seyogyanya mengacu
kepada beberapa prinsip berikut ini.
- Berfokus
pada Visi, Misi dan Tujuan Sekolah. Pengembangan budaya sekolah
harus senantiasa sejalan dengan visi, misi dan tujuan sekolah. Fungsi
visi, misi, dan tujuan sekolah adalah mengarahkan pengembangan budaya
sekolah. Visi tentang keunggulan mutu misalnya, harus disertai dengan
program-program yang nyata mengenai penciptaan budaya sekolah.
- Penciptaan
Komunikasi Formal dan Informal. Komunikasi merupakan dasar bagi koordinasi
dalam sekolah, termasuk dalam menyampaikan pesan-pesan pentingnya budaya
sekolah. Komunikasi informal sama pentingnya dengan komunikasi formal. Dengan
demikian kedua jalur komunikasi tersebut perlu digunakan dalam
menyampaikan pesan secara efektif dan efisien.
- Inovatif
dan Bersedia Mengambil Resiko. Salah satu dimensi budaya organisasi adalah
inovasi dan kesediaan mengambil resiko. Setiap perubahan budaya sekolah
menyebabkan adanya resiko yang harus diterima khususnya bagi para
pembaharu. Ketakutan akan resiko menyebabkan kurang beraninya seorang
pemimpin mengambil sikap dan keputusan dalam waktu cepat.
- Memiliki
Strategi yang Jelas. Pengembangan budaya sekolah perlu ditopang oleh
strategi dan program. Startegi mencakup cara-cara yang ditempuh sedangkan
program menyangkut kegiatan operasional yang perlu dilakukan. Strategi dan
program merupakan dua hal yang selalu berkaitan.
- Berorientasi
Kinerja.
Pengembangan budaya sekolah perlu diarahkan pada sasaran yang sedapat
mungkin dapat diukur. Sasaran yang dapat diukur akan mempermudah
pengukuran capaian kinerja dari suatu sekolah.
- Sistem
Evaluasi yang Jelas. Untuk mengetahui kinerja pengembangan budaya
sekolah perlu dilakukan evaluasi secara rutin dan bertahap: jangka pendek,
sedang, dan jangka panjang. Karena itu perlu dikembangkan sistem evaluasi
terutama dalam hal: kapan evaluasi dilakukan, siapa yang melakukan dan
mekanisme tindak lanjut yang harus dilakukan.
- Memiliki
Komitmen yang Kuat. Komitmen dari pimpinan dan warga sekolah sangat
menentukan implementasi program-program pengembangan budaya sekolah.
Banyak bukti menunjukkan bahwa komitmen yang lemah terutama dari pimpinan
menyebabkan program-program tidak terlaksana dengan baik.
- Keputusan
Berdasarkan Konsensus. Ciri budaya organisasi yang positif adalah
pengembilan keputusan partisipatif yang berujung pada pengambilan
keputusan secara konsensus. Meskipun hal itu tergantung pada situasi
keputusan, namun pada umumnya konsensus dapat meningkatkan komitmen
anggota organisasi dalam melaksanakan keputusan tersebut.
- Sistem
Imbalan yang Jelas. Pengembangan budaya sekolah hendaknya disertai
dengan sistem imbalan meskipun tidak selalu dalam bentuk barang atau uang.
Bentuk lainnya adalah penghargaan atau kredit poin terutama bagi siswa
yang menunjukkan perilaku positif yang sejalan dengan pengembangan budaya
sekolah.
- Evaluasi
Diri.
Evaluasi diri merupakan salah satu alat untuk mengetahui masalah-masalah
yang dihadapi di sekolah. Evaluasi dapat dilakukan dengan menggunakan
pendekatan curah pendapat atau menggunakan skala penilaian diri. Kepala
sekolah dapat mengembangkan metode penilaian diri yang berguna bagi
pengembangan budaya sekolah. Halaman berikut ini dikemukakan satu contoh
untuk mengukur budaya sekolah.
Selain mengacu kepada sejumlah prinsip di atas,
upaya pengembangan budaya sekolah juga seyogyanya berpegang pada
asas-asas berikut ini:
- Kerjasama
tim (team work). Pada dasarnya sebuah komunitas sekolah
merupakan sebuah tim/kumpulan individu yang bekerja sama untuk mencapai
tujuan. Untuk itu, nilai kerja sama merupakan suatu keharusan dan
kerjasama merupakan aktivitas yang bertujuan untuk membangun
kekuatan-kekuatan atau sumber daya yang dimilki oleh personil sekolah.
- Kemampuan.
Menunjuk pada kemampuan untuk mengerjakan tugas dan tanggung jawab pada
tingkat kelas atau sekolah. Dalam lingkungan pembelajaran, kemampuan
profesional guru bukan hanya ditunjukkan dalam bidang akademik tetapi juga
dalam bersikap dan bertindak yang mencerminkan pribadi pendidik.
- Keinginan.
Keinginan di sini merujuk pada kemauan atau kerelaan untuk melakukan tugas
dan tanggung jawab untuk memberikan kepuasan terhadap siswa dan
masyarakat. Semua nilai di atas tidak berarti apa-apa jika tidak diiringi
dengan keinginan. Keinginan juga harus diarahkan pada usaha untuk
memperbaiki dan meningkatkan kemampuan dan kompetensi diri dalam
melaksanakan tugas dan tanggung jawab sebagai budaya yang muncul dalam
diri pribadi baik sebagai kepala sekolah, guru, dan staf dalam memberikan
pelayanan kepada siswa dan masyarakat.
- Kegembiraan
(happiness). Nilai kegembiraan ini harus dimiliki oleh
seluruh personil sekolah dengan harapan kegembiraan yang kita miliki akan
berimplikasi pada lingkungan dan iklim sekolah yang ramah dan menumbuhkan
perasaan puas, nyaman, bahagia dan bangga sebagai bagian dari personil
sekolah. Jika perlu dibuat wilayah-wilayah yang dapat membuat suasana dan
memberi nuansa yang indah, nyaman, asri dan menyenangkan, seperti taman
sekolah ditata dengan baik dan dibuat wilayah bebas masalah atau wilayah
harus senyum dan sebagainya.
- Hormat
(respect). Rasa hormat merupakan nilai yang memperlihatkan
penghargaan kepada siapa saja baik dalam lingkungan sekolah maupun dengan stakeholders
pendidikan lainnya. Keluhan-keluhan yang terjadi karena perasaan tidak
dihargai atau tidak diperlakukan dengan wajar akan menjadikan sekolah
kurang dipercaya. Sikap respek dapat diungkapkan dengan cara memberi
senyuman dan sapaan kepada siapa saja yang kita temui, bisa juga dengan
memberikan hadiah yang menarik sebagai ungkapan rasa hormat dan
penghargaan kita atas hasil kerja yang dilakukan dengan baik. Atau
mengundang secara khusus dan menyampaikan selamat atas prestasi yang
diperoleh dan sebagaianya.
- Jujur (honesty). Nilai
kejujuran merupakan nilai yang paling mendasar dalam lingkungan sekolah,
baik kejujuran pada diri sendiri maupun kejujuran kepada orang lain. Nilai
kejujuran tidak terbatas pada kebenaran dalam melakukan pekerjaan atau
tugas tetapi mencakup cara terbaik dalam membentuk pribadi yang obyektif.
Tanpa kejujuran, kepercayaan tidak akan diperoleh. Oleh karena itu budaya
jujur dalam setiap situasi dimanapun kita berada harus senantiasa
dipertahankan. Jujur dalam memberikan penilaian, jujur dalam mengelola
keuangan, jujur dalam penggunaan waktu serta konsisten pada tugas dan
tanggung jawab merupakan pribadi yang kuat dalam menciptakan budaya
sekolah yang baik.
- Disiplin
(discipline). Disiplin merupakan suatu bentuk ketaatan pada
peraturan dan sanksi yang berlaku dalam lingkungan sekolah. Disiplin yang
dimaksudkan dalam asas ini adalah sikap dan perilaku disiplin yang muncul
karena kesadaran dan kerelaan kita untuk hidup teratur dan rapi serta
mampu menempatkan sesuatu sesuai pada kondisi yang seharusnya. Jadi
disiplin disini bukanlah sesuatu yang harus dan tidak harus dilakukan
karena peraturan yang menuntut kita untuk taat pada aturan yang ada.
Aturan atau tata tertib yang dipajang dimana-mana bahkan merupakan
atribut, tidak akan menjamin untuk dipatuhi apabila tidak didukung dengan
suasana atau iklim lingkungan sekolah yang disiplin. Disiplin tidak hanya
berlaku pada orang tertentu saja di sekolah tetapi untuk semua personil
sekolah tidak kecuali kepala sekolah, guru dan staf.
- Empati
(empathy). Empati adalah kemampuan menempatkan diri atau
dapat merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain namun tidak ikut larut
dalam perasaan itu. Sikap ini perlu dimiliki oleh seluruh personil sekolah
agar dalam berinteraksi dengan siapa saja dan dimana saja mereka dapat
memahami penyebab dari masalah yang mungkin dihadapai oleh orang lain dan
mampu menempatkan diri sesuai dengan harapan orang tersebut. Dengan sifat
empati warga sekolah dapat menumbuhkan budaya sekolah yang lebih baik
karena dilandasi oleh perasaan yang saling memahami.
- Pengetahuan dan Kesopanan. Pengetahuan dan kesopanan para personil sekolah yang disertai dengan kemampuan untuk memperoleh kepercayaan dari siapa saja akan memberikan kesan yang meyakinkan bagi orang lain. Dimensi ini menuntut para guru, staf dan kepala sekolah tarmpil, profesional dan terlatih dalam memainkan perannya memenuhi tuntutan dan kebutuhan siswa, orang tua dan masyarakat.
Dalam perspektif pendidikan, Allah SWT. telah
memberikan bimbingan dan petunjuk untuk dijadikan acuan teori, konsep maupun
praktek pendidikan dalam menyiapkan generasi penerus untuk mengemban tugas
kekhalifahan di muka bumi ini. Salah satunya sebagaimana tersirat dalam Al
Quran surat An Nisa’ ayat 9 yang artinya sebagai berikut :
“ Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang
seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang
mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah
mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang
benar”.
Kutipan ayat tersebut memiliki nilai universal dan
mengingatkan kita semua untuk tidak meninggalkan generasi masa depan yang
lemah; yaitu baik lemah secara fisik, intelektual, moral, sosial maupun
spiritual, sehingga pesan tersebut dapat dijadikan spirit pendidikan dalam
mewujudkan generasi kuat dan sejahtera yang sanggup menghadapi tantangan
zamannya.
Untuk mewujudkan tujuan tersebut, instrument strategik
yang diyakini memiliki tingkat akurasi tinggi adalah melalui proses pendidikan.
Ada pepatah China mengatakan bahwa jika anda mempunyai rencana kehidupan satu
tahun, tanamlah padi; jika anda mempunyai rencana kehidupan sepuluh
tahun, tanamlah pohon; dan jika anda mempunyai rencana kehidupan sepanjang
hayat, didiklah orang-orang.
Tilaar menyatakan pandangannya tentang pengertian
operasional hakekat pendidikan sebagai berikut ; bahwa pendidikan adalah suatu
proses menumbuhkembangkan eksistensi peserta didik yang memasyarakat,
membudaya, dalam tata kehidupan yang berdimensi lokal, nasional dan global (
Tilaar, 2002 : 28 ).
Dengan demikian pendidikan dapat diartikan sebagai
proses yang berkesinambungan, bahwa mendidik manusia adalah proses yang tidak
akan pernah selesai. Pendidikan tidak berhenti ketika peserta didik menjadi
dewasa tetapi akan terus menerus berkembang selama terdapat interaksi antara
manusia dengan lingkungan sesama manusia serta dengan lingkungan alamnya.
Pendidikan mempunyai tugas menumbuhkembangkan eksistensi manusia sebagai suatu
keberadaan yang interaktif. Interaksi di sini bukan hanya interaksi dengan
sesama manusia, tetapi juga dengan alam dan dunia ide termasuk dengan Sang
Pencipta alam semesta Allah SWT.
Pendidikan juga tidak dapat dan tidak boleh dipisahkan
dari kebudayaan. Proses pendidikan adalah proses pembudayaan, dan proses
pembudayaan adalah proses pendidikan. Menafikan pendidikan dari proses
pembudayaan merupakan proses alienasi dari hakekat manusia dan dengan demikian
alienasi dari proses humanisasi. Alienasi proses pendidikan dari kebudayaan
berarti menjauhkan pendidikan dari perwujudan nilai-nilai moral di dalam
kehidupan manusia ( Tilaar, 2002 : 32 ).
Sementara menurut Ki Hajar Dewantara pendidikan di
artikan sebagai daya upaya untuk memajukan tumbuhnya budi pekerti ( kekuatan
batin, karakter ), pikiran ( intelektual ) dan tubuh ( fisik ) anak. Ketiga hal
tersebut, yaitu tumbuhnya budi pekerti, intelektual dan fisik anak tidak dapat
dipisah-pisahkan agar supaya dapat memajukan kesempurnaan hidup, yaitu
kehidupan dan penghidupan anak-anak yang selaras dengan dunianya (Dewantara,
1977 : 14-15 )
Dalam pandangannya yang lain Ki Hajar Dewantara
memberikan pengertian tentang maksud dan tujuan pendidikan sebagai berikut
bahwa pendidikan adalah tuntunan di dalam tumbuhnya anak-anak, yaitu menuntun
segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka sebagai manusia dan
sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang
setinggi-tingginya. Pendidikan adalah tuntunan di dalam hidup tumbuhnya anak,
berarti bahwa hidup tumbuhnya anak-anak itu berada di luar kemampuan dan
kehendak pendidik. Anak-anak sebagai makhluk, sebagai manusia, sebagai benda
hidup akan hidup dan tumbuh menurut kodratnya sendiri. Kodrat yang ada pada
anak tiada lain adalah segala kekuatan di dalam hidup batin dan hidup lahir dari
anak-anak. Jadi yang ada adalah kekuasaan kodrat. Para pendidik hanya dapat
menuntun tumbuhnya atau hidupnya kekuatan-kekuatan kodrat tersebut agar dapat
memperbaiki lakunya hidup dan tumbuhnya ( Dewantara, 1977 : 20-21 ).
Dengan demikian tujuan pendidikan sebenarnya bukan
semata penguasaan pengetahuan, keterampilan teknikal saja, karena ini sekedar
alat, atau perkakas. Tetapi tujuan pendidikan adalah bertumpu pada anak itu
sendiri yang dapat berkembang mencapai sempurnanya hidup manusia, sehingga bisa
memenuhi segala bentuk keperluan hidup lahir dan batin. Ibarat suatu tanaman
tujuan yang akan dicapai adalah bunganya, yang kelak akan menghasilkan buah.
Demikian pula dalam pendidikan, bahwa buahnya pendidikan adalah matangnya jiwa,
yang akan dapat mewujudkan hidup dan penghidupan yang sempurna dan memberikan
manfaat bagi orang lain dan lingkungannya.
Namun demikian, dalam prakteknya proses pendidikan
harus berhadapan dengan mainstream global yang tidak bisa kita hindari, yaitu
arus globalisasi. Globalisasi adalah suatu keniscayaan yang tidak dapat
dihadang oleh kekuatan apapun. Pada dasarnya globalisasi merupakan proses
kemajuan yang melahirkan ketergantungan antar bangsa dan Negara, yang ditandai
oleh derasnya arus informasi, komunikasi, lalu lintas barang, jasa dan modal,
bahkan tenaga kerja, secara bebas antar Negara.
Globalisasi merupakan fenomena bagaikan pisau bermata
dua; satu sisi memberi dampak positif, sedangkan sisi yang lain member dampak
negative. Pada sisi positif, globalisasi menyebabkan terjadinya perluasan pasar
yang berdampak terhadap kenaikan pendapatan suatu bangsa. Dalam bidang social
politik, globalisasi membawa angin segar pada system dan tata pemerintahan yang
cenderung member kebebasan dan kedaulatan kepada rakyat. Dalam bidang budaya,
globalisasi menyebabkan interaksi antar bangsa yang semakin massif dan intens,
sehingga arus pertukaran informasi dan ilmu pengetahuan semakin terbuka.
Sementara sisi negative dari globalisasi juga tidak
kalah banyaknya. Di bidang ekonomi menyebabkan semakin menganga jurang antara
kelompok kaya dan miskin. Dalam bidang social politik demokrasi cenderung
mengarah pada demokrasi tanpa batas. Dalam bidang budaya, adanya globalisasi
membawa dampak pada mudahnya warga masyarakat di Negara-negara sedang berkembang,
termasuk Indonesia meniru budaya Negara luar, dalam berbagai bentuk. Seperti,
pola pergaulan, pola berpakaian, pola makan, dan berbagai pola perilaku lain
yang pada gilirannya justru dapat merusak harkat, martabat dan jati diri bangsa
itu sendiri ( Zamroni, 2011 : 65 )
Selain ekses globalisasi di atas, masyarakat dan
bangsa Indonesia juga dihadapkan pada persoalan laten internal, diantaranya
budaya korupsi pada semua lapisan mulai dari tukang parkir hingga bankir, dari
rakyat hingga pejabat baik yang berpendidikan rendah sampai berpendidikan
tinggi. Persoalan laten lainnya adalah pemakaian kekerasan dalam memecahkan
masalah, rendahnya didiplin, pengrusakan lingkungan, rasa permusuhan antar
kelompok, antar golongan juga masih membayangi kelabunya wajah negeri tercinta
ini.
Disinyalir oleh Gede Raka bahwa meningkatnya
kompetensi manusia dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi ternyata
tidak dengan sendirinya disertai peningkatan kebajikan yang ada di hati
manusia. Kompetensi yang tidak disertai peningkatan kebajikan cenderung akan
membawa umat manusia ke keadaan yang mengancam kualitas kehidupannya bahkan
keberadaannya. Oleh karena itu, salah satu tawaran solusinya adalah melalui
pendidikan karakter di sekolah ( Gede Raka, 2011: 21 ).
Pelaksanaan pendidikan karakter di sekolah sejatinya
juga sudah menjadi amanat konstitusi sebagaimana tertuang dalam UUSPN Pasal 3
menyebutkan bahwa Pendidikan nasional berfungsi: Mengembangkan kemampuan dan
membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa.
Untuk itu, dalam makalah ini selanjutnya akan dibahas
tentang relasi “Pendidikan karakter dan budaya sekolah”.
- B.
KARAKTER DAN PENDIDIKAN KARAKTER
- Pengertian
Karakter
Istilah karakter sering disama artikan dengan kata
watak, sifat, tabiat. Secara umum karakter dikaitkan dengan sifat khas atau
istimewa, atau kekuatan moral, atau pola tingkah laku seseorang.
Menurut Samani, karakter dimaknai sebagai cara
berpikir dan berperilaku yang khas tiap individu untuk hidup dan bekerja sama,
baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa, dan Negara. Individu yang
berkarakter baik adalah individu yang dapat membuat keputusan dan sikap
mempertanggungjawabkan setiap akibat dari keputusannya. Karakter dapat dianggap
sebagai nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha
Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud
dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan
norma-norma agama, hukum, tata kerama, budaya, adat istiadat, dan estetika (
Samani, 2011: 41 )
Karakter adalah perilaku yang tampak dalam kehidupan
sehari-hari baik dalam bersikap maupun dalam bertindak. Menurut kamus besar
Bahasa Indonesia ( 2008 ) karakter merupakan sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau
budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain. Dengan demikian
karakter adalah nilai-nilai yang unik-baik yang terpatri dalam diri dan
terejawantahkan dalam perilaku ( Kemendiknas, 2010 ). Nilai yang unik-baik itu
selanjutnya dimaknai sebagai tahu nilai kebaikan, mau berbuat baik, dan nyata berkehidupan
baik.
Scerenko ( 1997 ) mendefinisikan karakter sebagai
atribut atau ciri-ciri yang membentuk dan membedakan ciri pribadi, ciri etis,
dan kompleksitas mental dari seseorang, suatu kelompok atau bangsa. Robert
Marine ( 1998 ) mengambil pendekatan yang berbeda terhadap makna karakter,
menurut dia karakter adalah gabungan yang samar-samar antara sikap, perilaku
bawaan, dan kemampuan, yang membangun pribadi seseorang.
Sebagai identitas atau jati diri suatu bangsa,
karakter merupakan nilai dasar perilaku yang menjadi acuan tata nilai interaksi
antar manusia. Secara universal berbagai karakter dirumuskan sebagai nilai
hidup bersama berdasarkan atas pilar : kedamaian ( peace ), menghargai ( respect
), kerja sama ( cooperation ), kebebasan ( freedom ), kebahagiaan
( happiness ), kejujuran ( honesty ), kerendahan hati ( humility
), kasih saying ( love ), tanggung jawab ( responsibility ),
kesederhanaan ( simplicity ), toleransi ( tolerance ), dan
persatuan ( unity ). Karakter juga dipengaruhi oleh hereditas maupun
lingkungan. Perilaku seorang anak sering kali tidak jauh dai perilaku ayah dan
ibunya. Linkungan social maupun lingkungan alam juga turut memberi kontribusi
terhadap pembentukan karakter seseorang. Seorang anak yang hidup di tengah
lingkungan social yang keras, seperti di daerah padat penduduk, metropolitan,
biasanya cenderung berperilaku antisocial, keras, emosional dan sebagainya.
Sementara itu anak yang hidup di lingkungan yang gersang, panas, dan tandus,
pada umumnya juga memiliki temperamen yang keras pula.
Dari berbagai pengertian dan definisi tersebut, serta
factor-faktor yang dapat mempengaruhi karakter, maka karakter dapat dimaknai
sebagai nilai dasar yang membangun pribadi seseorang, terbentuk baik karena
pengaruh hereditas maupun pengaruh lingkungan, yang membedakannya dengan orang
lain, serta diwujudkan dalam sikap dan perilakunya dalam kehidupan sehari-hari.
- Pendidikan
Karakter
Karakter dan pendidikan karakter memiliki arti dan
makna berbeda. Karakter lebih di maknai sebagai substansi atau content,
sedangkan pendidikan karakter lebih menekankan pada proses. Berikut ini akan
dipaparkan beberapa pengertian pendidikan karakter, sehingga diharapkan dapat
memperjelas dalam memaknai dan membedakan apa itu karakter dan pendidikan
karakter.
Dalam pengertian yang sederhana pendidikan karakter
didefinisikan sebagai hal positif apa saja yang dilakukan guru dan berpengaruh
kepada karakter siswa yang diajarnya. Samani ( 2011 ) mengutip Winton ( 2010 )
Pendidikan karakter adalah upaya sadar dan sungguh-sungguh dari seorang guru
untuk mengajarkan nilai-nilai kepada para siswanya. Pendidikan karakter menurut
Burke ( 2001 ) semata-mata merupakan bagian dari pembelajaran yang baik dan
merupakan bagian yang fundamental dari pendidikan yang baik.
Departemen Pendidikan Amerika Serikat mendefinisikan
pendidikan karakter sebagai berikut : Pendidikan karakter mengajarkan kebiasaan
berpikir dan kebiasaan berbuat yang dapat membantu orang-orang hidup dan
bekerja bersama sebagai keluarga, sahabat, tetangga, masyarakat dan bangsa.
Dari definisi tersebut dapat dikembangkan bahwa pendidikan karakter adalah
pendidikan yang mengembangkan karakter mulia (good character ) dari
peserta didik dengan mempraktikkan dan mengajarkan nilai-nilai moral dan
pengambilan keputusan yang beradab dalam hubungan dengan sesama manusia maupun
dalam hubungannya dengan Tuhannya.
Dalam kaitannya dengan aktivitas yang berbasis pada
sekolah Anne Lockwood ( 1997 ) yang dikutip oleh Samani ( 2011 ) menyatakan
bahwa : Pendidikan karakter adalah setiap rencana sekolah, yang dirancang
bersama lembaga masyarakat lain, untuk membentuk secara langsung dan sistematis
perilaku orang muda dengan memengaruhi secara explicit nilai-nilai kepercayaan
yang diterima secara luas , yang dilakukan secara langsung dalam menerapkan
nilai-nilai tersebut.
Dari beberapa definisi di atas, kiranya dapat
disimpulkan bahwa pendidikan karakter merupakan proses pemberian tuntunan
kepada peserta didik untuk menjadi manusia seutuhnya yang berkarakter dalam
dimensi hati, pikir, raga, serta rasa dan karsa. Pendidikan karakter juga dapat
dimaknai sebagai pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral,
pendidikan watak, yang bertujuan mengembangkan kemampuan peserta didik untuk
memberikan keputusan baik-buruk, memelihara apa yang baik, dan mewujudkan
kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati. Pendidikan
karakter juga dapat dimaknai sebagai suatu system penanaman nilai-nilai
karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran
atau kemauan dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut baik terhadap
Tuhan YME, diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi
insan kamil.
- Prinsip-prinsip
Pendidikan Karakter
Kementerian Pendidikan Nasional dalam panduan pelaksanaan
pendidikan karakter memberikan acuan bahwa pendidikan karakter harus didasarkan
pada prinsip-prinsip sebagai berikut :
- Mempromosikan
nilai-nilai dasar etika sebagai basis karakter.
- Mengidentifikasi
karakter secara komprehensif supaya mencakup pemikiran, perasaan, dan
perilaku.
- Menggunakan
pendekatan yang tajam, proaktif dan efektif untuk membangun karakter.
- Menciptakan
komunitas sekolah yang mempunyai kepedulian.
- Member
kesempatan kepada peserta didik untuk menunjukkan perilaku yang baik.
- Memiliki
cakupan terhadap kurikulum yang bermakna dan menantang yang menghargai
semua peserta didik, membangun karakter mereka, dan membantu untuk sukses.
- Mengusahakan
tumbuhnya motivasi diri pada para peserta didik
- Memfungsikan
seluruh staf sekolah sebagai komunitas moral yang berbagi tanggungjawab
untuk pendidikan karakter dan setia pada nilai dasar yang sama.
- Adanya
pembagian kepemimpinan moral dan dukungan luas dalam membangun inisiatif
pendidikan karakter.
- Memfungsikan
keluarga dan anggota masyarakat sebagai mitra dalam usaha membangun
karakter.
- Mengevaluasi
karakter sekolah, fungsi staf sekolah sebagai guru-guru karakter dan
manifestasi karakter positif dalam kehidupan peserta didik.
- C.
BUDAYA SEKOLAH
Sekolah adalah institusi social. Institusi adalah
organisasi yang dibangun masyarakat untuk mempertahankan dan meningkatkan taraf
hidupnya. Untuk maksud tersebut sekolah harus memiliki budaya sekolah yang
kondusif, yang dapat memberi ruang dan kesempatan bagi setiap warga sekolah
untuk mengoptimalkan potensi dirinya masing-masing.
Budaya sekolah adalah keyakinan dan nilai-nilai milik
bersama yang menjadi pengikat kuat kebersamaan mereka sebagai warga suatu
masyarakat. Jika definisi ini diterapkan di di sekolah, sekolah dapat saja
memiliki sejumlah kultur dengan satu kultur dominan dan kultur lain sebagai
subordinasi.( Kennedy, 1991 )
Pendapat lain tentang budaya sekolah juga dikemukakan
oleh Schein, bahwa budaya sekolah adalah suatu pola asumsi dasar hasil invensi,
penemuan atau pengembangan oleh suatu kelompok tertentu saat ia belajar
mengatasi masalah-masalah yang telah berhasil baik serta dianggap valid, dan
akhirnya diajarkan ke warga baru sebagai cara-cara yang benar dalam memandang,
memikirkan, dan merasakan masalah-masalah tersebut. ( Schein , 2010 )
Pandangan lain tentang budaya sekolah dikemukakan oleh
Zamroni ( 2011 ) bahwa budaya sekolah adalah merupakan suatu pola asumsi-asumsi
dasar, nilai-nilai, keyakinan-keyakinan, dan kebiasaan-kebiasaan yang dipegang
bersama oleh seluruh warga sekolah, yang diyakini dan telah terbukti dapat
dipergunakan untuk menghadapi berbagai problem dalam beradaptasi dengan
lingkungan yang baru dan melakukan integrasi internal, sehingga pola nilai dan
asumsi tersebut dapat diajarkan kepada anggota dan generasi baru agar mereka
memiliki pandangan yang tepat bagaimana seharusnya mereka memahami, berpikir,
merasakan dan bertindak menghadapi berbagai situasi dan lingkungan yang ada (
Zamroni, 2011: 297 ).
Budaya sekolah yang positif akan mendorong semua warga
sekolah untuk bekerjasama yang didasarkan saling percaya, mengundang
partisipasi seluruh warga, mendorong munculnya gagasan-gagasan baru, dan
memberikan kesempatan untuk terlaksananya pembaharuan di sekolah yang semuanya
ini bermuara pada pencapaian hasil terbaik. Budaya sekolah yang baik dapat
menumbuhkan iklim yang mendorong semua warga sekolah untuk belajar, yaitu
belajar bagaimana belajar dan belajar bersama. Akan tumbuh suatu iklim bahwa
belajar adalah menyenangkan dan merupakan kebutuhan, bukan lagi keterpaksaan.
Belajar yang muncul dari dorongn diri sendiri, intrinsic motivation,
bukan karena tekanan dari luar dalam segala bentuknya. Akan tumbuh suatu
semangat di kalangan warga sekoalah untuk senantiasa belajar tentang sesuatu
yang memiliki nilai-nilai kebaikan.
Budaya sekolah yang baik dapat memperbaiki kinerja
sekolah, baik kepala sekolah, guru, siswa, karyawan maupun pengguna sekolah
lainnya. Situasi tersebut akan terwujud manakala kualifikasi budaya tersebut
bersifat sehat, solid, kuat, positif, dan professional. Dengan demikian suasana
kekeluargaan, kolaborasi, ketahanan belajar, semangat terus maju, dorongan
untuk bekerja keras dan belajar mengajar dapat diciptakan.
Budaya sekolah yang baik akan secara efektif
menghasilkan kinerja yang terbaik pada setiap individu, kelompok kerja/ unit
dan sekolah sebagai satu institusi, dan hubungan sinergis antara tiga tingkatan
tersebut. Budaya sekolah diharapkan memperbaiki mutu sekolah, kinerja di
sekolah dan mutu kehidupan yang diharapkan memiliki ciri sehat, dinamis atau
aktif, positif dan profesional.
Budaya sekolah sehat memberikan peluang sekolah dan
warga sekolah berfungsi secara optimal, bekerja secara efisien, energik, penuh
vitalitas, memiliki semangat tinggi, dan akan mampu terus berkembang. Oleh karena
itu, budaya sekolah ini perlu dikembangkan.
Menurut Zamroni budaya sekolah ( kultur sekolah )
sangat mempengaruhi prestasi dan perilaku peserta didik dari sekolah tersebut.
Budaya sekolah merupakan jiwa dan kekuatan sekolah yang memungkinkan sekolah
dapat tumbuh berkembang dan melakukan adaptasi dengan berbagai lingkungan yang
ada.
Selanjutnya, dalam analisis tentang budaya sekolah
dikemukakan bahwa untuk mewujudkan budaya sekolah yang akrab-dinamis, dan
positif-aktif perlu ada rekayasa social. Dalam mengembangkan budaya baru
sekolah perlu diperhatikan dua level kehidupan sekolah: yaitu level individu
dan level organisasi atau level sekolah. Level individu, merupakan perilaku
siswa selaku individu yang tidak lepas dari budaya sekolah yang ada. Perubahan
budaya sekolah memerlukan perubahan perilaku individu. Perilaku individu siswa
sangat terkait dengan prilaku pemimpin sekolah. Dalam hal ini bisa perilaku
kepala sekolah dan terutama guru, bagaimana mereka memperlakukan para siswa.
Mencakup antara lain :
a) Bagaimana guru
memberikan perhatian dan menangani masalah yang dihadapi siswa,
b) Bagaimana guru
menanggapi masalah penting yang terjadi di sekolah, terutama yang menyangkut
kepentingan siswa,
c) Bagaimana guru
mengalokasikan sumber yang ada, terutama dalam member kesempatan untuk
berkomunikasi secara mudah,
d) Bagaimana para guru
memberikan contoh atau tauladan terhadap para siswanya, karena umumnya siswa
lebih banyak memperhatikan apa yang dilakukan para guru dari pada mendengarkan
apa yang dikatakan guru, dan
e) Bagaimana guru member
rewards dan punishment atas prestasi dan perilaku siswanya
Sedangkan pada level institusi atau sekolah, mencakup
antara lain
a) Bagaimana design dan
pergedungan sekolah, sebab ini juga merupakan bagian dari kultur sekolah,
b) System, mekanismedan
prosedur sekolah, seperti tata tertib sekolah dll.
c) Bagaimana ritual,
tata cara, dan kebiasaan yang ada di sekoalah, seperti upacara sekolah, seragam
sekolah dsb.
d) Apakah sekolah memiliki
semboyan atau jargon yang menjadi kebanggaan seluruh warga sekolah?
e) Bagaimana filosifi,
visi, dan misi sekolah serta bagaimana proses sosialisasinya.
- D.
PENDIDIKAN KARAKTER DAN BUDAYA SEKOLAH
Sebelumnya telah disebutkan bahwa pendidikan tidak
dapat dan tidak boleh dipisahkan dari kebudayaan. Proses pendidikan adalah
proses pembudayaan, dan proses pembudayaan adalah proses pendidikan. Demikian
pula dalam proses membangun karakter anak, salah satu strateginya dapat
dilakukan melalui proses pembudayaan di lingkungan sekolah atau melalui budaya
sekolah.
Sesuai dengan Desain Induk Pendidikan karakter yang
dirancang Kemendiknas (2010) strategi pengembangan pendidikan karakter dapat
dilakukan melalui transformasi budaya sekolah ( school culture ) dan habituasi
melalui kegiatan pengembangan diri ( ekstrakurikuler ). Hal ini sejalan dengan
pemikiran Berkowitz, yang dikutip oleh Elkind dan Sweet ( 2004 ) serta Samani (
2011 ) yang menyatakan bahwa: implementasi pendidikan karakter melalui transformasi
budaya dan perikehidupan sekolah, dirasakan lebih efektif daripada mengubah
kurikulum dengan menambahkan materi pendidikan karakter dalam muatan kurikulum.
Dalam kaitan pengembangan budaya sekolah yang
dilaksanakan dalam kaitan pengembangan diri, Kemendiknas menyarankan melalui
empat hal, yang meliputi : 1. Melalui kegiatan rutin, 2. Kegiatan spontan, 3.
Keteladanan, dan 4. Melalui pengondisian.
Secara substantive karakter terdiri dari 3 ( tiga )
nilai operatif, nilai-nilai dalam tindakan, atau unjuk perilaku yang satu sama
lain saling berkaitan. Ketiga nilai tersebut adalah : pengetahuan tentang moral
( moral knowing, aspek kognitif ); perasaan berdasarkan moral ( moral
feeling, aspek afektif ); dan perilaku berlandaskan moral ( moral action,
aspek psikomotor ). Hubungan tersebut dapat digambarkan dalam gambar di bawah
ini :
Gambar 1 ; Nilai-nilai karakter siswa.
Karakter yang baik terdiri atas proses-proses yang
meliputi, tahu mana yang baik, keinginan melakukan yang baik dan melakukan yang
baik. Selain itu, karakter yang baik juga harus ditunjang oleh kebiasaan pikir,
kebiasaan hati, dan kebiasaan tindakan. Dalam konteks realitas psikologis dan
sosio-kultural dikategorikan menjadi : olah pikir, olah hati, olah raga dan
kinestetik serta olah rasa dan karsa. Hubungan tersebut dapat digambarkan dalam
gambar di bawah ini :
Karakter berkaitan dengan nilai-nilai, penalaran dan
perilaku dari seseorang. Dengan demikian, pendidikan karakter tidak bisa hanya
diceramahkan, atau dipaksakan lewat proses indoktrinasi terselubung pendidik.
Pendidikan karakter perlu didasarkan pada strategi yang tepat. Kevin Ryan dalam
Zamroni mengembangkan strategi pendidikan karakter yang disebut dengan nama
enam E, yaitu; Example, Explanation, Exhortation, Ethical
Environmental, Experience, dan Expectation of excellency. Menurut
strategi tersebut pendidikan karakter memerlukan contoh atau teladan sebagai
model yang pantas untuk ditiru. Sesuatu yang akan ditiru oleh siswa, disertai
dengan pengetahuan mengapa seseorang perlu melakukan apa yang ditiru tersebut.
Untuk itu perlu ada penjelasan mengapa sesuatu harus dilakukan, sehingga tidak
meniru membabi buta. Melakukan sesuatu itu harus secara sungguh-sungguh,
sebagai bentuk kerja keras. Dalam melaksanakan sesuatu harus mempertimbangkan
lingkungan, baik social maupun fisik. Artinya, seseorang harus sensitive atas
kondisi dan situasi yang ada di sekitarnya. Sikap dan perilaku yang
dilaksanakan harus dinikmati, dikerjakan dengan penuh makna, sehingga
memberikan pengalaman bagi diri pribadi. Pengalaman inilah yang bisa memberikan
makna atau spiritual atas apa yang dilakukan. Dengan demikian perilaku tersebut
terinternalisasi pada diri yang akan menjadi kebiasaan. Akhirnya semua itu
dilakukan dengan harapan yang tinggi, bahwa perilaku tersebut mewujudkan hasil
terbaik.( Zamroni, 2011: 283 )
Dari paparan tentang relasi antara pendidikan karakter
dan budaya sekolah tersebut, selanjutnya dapat disimpulkan sebagai berikut :
- Proses pendidikan dan pembudayaan merupakan satu
rangkaian proses humanisasi, sehingga keduanya tidak dapat dan tidak boleh
dipisahkan. Proses pendidikan adalah proses pembudayaan, dan proses
pembudayaan adalah proses pendidikan. Alienasi proses pendidikan dari
kebudayaan berarti menjauhkan pendidikan dari perwujudan nilai-nilai moral
di dalam kehidupan manusia.
- Proses pendidikan bukan semata penguasaan
pengetahuan, keterampilan teknikal saja, karena ini sekedar alat, atau
perkakas. Tetapi proses pendidikan harus bertumpu pada anak itu sendiri,
untuk dapat berkembang mencapai sempurnanya hidup. Karena buahnya
pendidikan adalah matangnya jiwa anak, yang akan dapat mewujudkan hidup
dan penghidupan yang sempurna dan memberikan manfaat bagi orang lain dan
lingkungannya.
- Dalam perjalanannya, proses pendidikan harus
berhadapan dengan arus globalisasi yang membawa dampak positif maupun
negative. Ekses globalisasi ini mempengaruhi gaya hidup suatu bangsa, yang
pada gilirannya dapat mereduksi,bahkan merusak harkat, martabat dan jati
diri bangsa.
- Sebagai upaya mempertahankan dan membangun
harkat, martabat dan jati diri bangsa, perlu digalakkan pendidikan
karakter yang salah satunya dapat ditempuh melalui pengembangan budaya
sekolah.
Comments
Post a Comment